Thursday 8 October 2015

surat kesekian

Ponselku berdering dan seperti kebanyakan remaja lainnya, aku kelabakan mencarinya agar dapat segera tahu siapa yang menghubungi.

Napasku berhenti.

Dia.

"Halo?"

"Kenapa?" Aku menyahut cepat, tapi nada suaraku stabil. Mudah-mudahan terdengar bagus di telinganya.

"Kamu di mana?"

Semoga masih di hatimu, tidak beranjak ke mana-mana. "Di rumah, baru nyampe. Tadi emang lagi jalan, sih."

"Arisan ya?"

"Anggap aja gitu, deh," aku nyengir meski tahu dia tidak bisa melihat.

"Besok ulangan ya?"

"He-eh," aku terdengar seperti orang mengeluh, aku tahu. Tapi Aulia yang dia kenal memang begitu. Justru normal mendengarku merutuk-rutuk atas hal-hal sederhana. "Matematika, lagi."

"Ya udah, belajar, ya." 

Aku tersenyum. "Iya. Dadah."

"Dadah."

I love you, I wish you knew.

**


10:32 pm

"Hpmu bunyi tuh," adikku memasang muka bete. Seakan-akan tahu siapa yang menelepon, dia kembali melanjutkan, "Nggak usah dijawab, sok-sokan aja udah tidur."

Aku tersenyum tipis sembari menatap layar ponsel. Tidak akan. Aku biasa mengabaikan telepon tengah malam dari siapa pun (pengecualian kalau aku memang masih terjaga), apa lagi dengan keadaan lelah dan hampir mencapai mimpi begini. Tapi pemuda ini pengecualian.

"Halo? Aku sudah mau tidur," tanpa ba-bi-bu, aku memilih untuk jujur.

"Oh, sudah mau tidur?" Aku berdeham sembari mengiakan. Tapi ia mulai bercerita soal lingkungan sosialnya yang kurang menyenangkan dan aku tak bisa membayangkan tidak punya teman dekat saat berada jauh dengan orangtua seperti keadaannya saat ini.

Ayahku sedang menelepon di depan kamarku sementara ia masih bercerita. Adikku mendengus dan buru-buru tidur dengan telinga yang ditutup. Aku tahu dia benci keputusanku untuk mengangkat telepon, tapi siapa yang peduli? Aku pelupa, bahkan meski baru dua minggu tidak dihubungi karena masing-masing dari kami tenggelam dalam kesibukan sekolah dan ulangan tengah semester, aku sudah lupa bagaimana suaranya biasa terdengar.

Menyedihkan, ya?

Makanya aku mau dengar ceritanya sekarang walau mataku meronta-ronta minta istirahat. Meski cuma sebentar, tak apa. Setidaknya kini aku ingat. Paling tidak, setelah minggu-minggu yang melelahkan, ia masih punya tempat berbagi cerita walau cuma sebentar. Aku berusaha menjadi teman yang selalu ada. Orang-orang bilang, yang istimewa akan kalah sama yang selalu ada. Aku tidak mau terlupakan. Panggil aku orang teregois sedunia, tapi aku mau dua-duanya. Istimewa dan selalu ada.

Aku berusaha, mudah-mudahan dia tahu.

Ayahku mengucapkan salam pada orang di seberang teleponnya. Aku tahu ocehan anak ini harus berhenti sebelum kepala ayahku melongok dan mulai bertanya dengan muka datarnya.

Ha, aku memang pemberani. Apa nekat? Tapi siapa yang peduli?

"Hei! Aku sudah betul-betul mau istirahat. Kenapa ceritamu nggak selesai-selesai?"

Terdengar jahat sekali. Bahkan aku setengah tak percaya pada ucapan dari mulutku sendiri. Aku nggak mau ceritanya diakhiri, tapi daripada aku justru ketiduran dan dia malah bermonolog sendiri, lebih baik begitu. Meski aku merasa bersalah juga karena selama ini dia selalu sabar mendengarku keluhan-keluhanku, malah meminta untuk terus berbicara.

"Nggak papa, aku senang dengar suaramu. Lanjutkan ceritanya."

Kurasa aku nggak mau peduli-peduli amat kalau ada yang bilang suaraku cempreng. Asalkan dia tidak merasa begitu.

Iya, kadang aku memang lebay. Maafin, ya.

"Oh, ya sudah. Pergi tidur, sana." Nada suaranya tak tertebak. Marahkah dia? Atau kecewa karena ceritanya dipotong?

Hening sejenak. Aku tahu dia akan mematikan sambungan telepon dengan cepat setelah ceritanya kugunting tiba-tiba begitu.

Seandainya dia tahu aku juga tidak mau melakukannya.

Sambungan telepon dimatikan seperti yang kuduga. Aku tersenyum pahit menatap layar ponsel. 8 menit 3 detik yang berharga.

Kutarik selimut hingga menutup sampai kepala. Aku menghela napas panjang. Maaf, aku berbisik pada diri sendiri. Aneh memang, aku mengecewakan diriku sendiri, makanya meminta maaf, juga pada diriku sendiri.

Kali itu, sebelum mataku terpejam aku sempat membisikkan harapan; untuk ulangan Matematikaku, untuk pagi yang akan kuhadapi beberapa jam lagi.
Tak lupa untuk kesehatan dan keselamatannya.

Entahlah. Sejak jatuh cinta, egoismeku terkikis pelan-pelan. Ada harapan yang selalu terpatri untuk dia. Bukan macam-macam selain nilai bagus untuk semua mata pelajaran (karena aku tahu dia bekerja keras), kenyamanannya atas tempat tinggal baru, serta untuk kesehatan dan keselamatannya.

Halah, kenapa malah jadi doa umum para ibu untuk putranya begini, ya?

Ya sudahlah.

Apa dia bakal membaca tulisan ini?
Menurutmu bagaimana?
Tunggu, atau jangan-jangan yang baca ini kamu?
XD




Jumat, 9 Oktober 2015
Aulia Azizah, kepengennya sih dipanggil Iza.